A. Definisi

Definisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994) adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. Walaupun terjadi hipoperfusi ginjal, tetapi terapi dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki fungsi ginjal ini.

B. Faktor resiko

Meskipun sindrom hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan sirosis hati yang kronis, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut.

Faktor predisposisi terjadinya SHR yang terpenting adalah adanya komplikasi SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) dan usia tua. Translokasi bakteri dari intestinal mungkin sangat penting dalam memperburuk endotoksinemia dan barangkali mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis, melalui perantaraan tumor necrosis factor dan interleukin, seperti dilaporkan pada pasien sirosis dengan komplikasi infeksi. Faktor predisposisi lainnya termasuk parasintesis yang berlebihan, terapi antibiotik berlebihan dan berkepanjangan, perdarahan gastrointestinal, atau penyebab lainnya yang berhubungan dengan penururnan volume plasma seperti diare menetap, restriksi cairan berlebihan. Di samping itu pemberian NSAIDs meskipun dosis kecil, mungkin menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis. NSAIDs menghambat siklooksigenase yang bekerja mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin sehingga kadarnya meningkat . prostaglantin merupakan vasodilator, pada sirosi hati dapat terjadi peningkatan prostaglandin secara spontan. Pada pasien sirosis, terapi dengan albumin intravena dan antibiotic mengurangi insidensi gangguan faal ginjal dan mortalitas jika dibandingkan dengan terapi antibiotika saja.

C. Patogenesis

Pathogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui sampai saat ini. Hipotesis SHR adalah sebagai berikut : akibat dari sirosis hati atau penyakit hati akut lain dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemi atau arteri sentral sehingga merangsang aktivasi system rennin angiostensis aldosteron, dan hormone antidiuretik yang secara keseluruhan akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya vasokontriktor disertai penurunan vasodilator.

– Faktor Vasokonstriktor

Sistem renin-angiotensin tampaknya berperan penting dalam mempertahankan vasokonstriksi pada sindrom hepatorenal. Konsentrasi renin plasma akan meningkat pada penderita dengan sirosis dekompensata, mungkin sebagai akibat penurunan inaktivasi renin oleh hati. Walaupun terjadi peningkatan konsentrasi renin plasma, akan terjadi juga pengurangan substrat renin, dan ketika ditransfusi dengan plasma darah yang kaya akan substrat renin, pada penderita sindrom hepatorenal akan terjadi peningkatan tekanan darah dan ekskresi urin berhubungan dengan penurunan renin plasma. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan renin plasma adalah merupakan respon terhadap penurunan perfusi ginjal dan efek ini dibatasi oleh penurunan substrat renin. Sekresi renin sebagai respon terhadap penurunan perfusi ginjal memegang peranan utama dalam mempertahankan filtrasi glomerulus. Penurunan perfusi disertai sekresi renin akan menyebabkan aktivasi angiotensin, lalu menimbulkan vasokonstriksi arteriolar eferen untuk mempertahankan tekanan intraglomerular dan filtrasi glomerulus. Ketika perfusi ginjal makin menurun, maka angiotensin akan menyebabkan vasokonstriksi arteriolar aferen

sehingga menurunkan perfusi dan filtrasi glomerulus.

Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut :

· Hati
– Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen

– Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin, dan vasopressin

· Plasma
– Peningkatan kadar rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin, vasopressin, endotelin, 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretik

– Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial

· Urin atau ginjal

– Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.

Dari beberapa penelitian pada penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor endotelin–A. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya peningkatan produksi sisteinil leukotrien yang berperan sebagai vasokonstriktor ginjal yang kuat pada penderita SHR.

Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostan dapat juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesis vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Baru-baru ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten pada SHR yang timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdebatan.

– Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokonstriktor.

Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor.

Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal yang berlebih.

– Sistem saraf simpatis

Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan retensi natrium. Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti yang membuktikan adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splangnik. Kostreva dkk mengamati terjadinya vasokonstriksi arteiol afferen ginjal yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.

D. Gambaran Klinis

Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi dilusional, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan berkemih (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada analisis urin didapatkan keadaan normal.

· Penurunan produksi urin

· Urin warna teh pekat

· Ikterus (yellow-orange color)

· Penambahan berat badan

· Perut membesar (abdominal swelling)

· Penurunan kesadaran (dementia, delirium, confusion)

· Kejang otot

· Mual

· Muntah

· Hematemesis

· Melena

Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda ensefalopati, asites dan jaundice dan tanda gagal hati lain bersamaan dengan penurunan fungsi ginjal. Refleks tendon meningkat dan adanya refleks abnormal lain menunjukkan adanya gangguan sistem saraf. Bisa juga terdapat ginekomasti, penurunan ukuran testis, adanya spider naevi (spider telangiectasia) di kulit, atau tanda-tanda gagal hati lainnya.

Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :

1. Sindrom Hepatorenal tipe I

Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum dimana nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif dari jumlah urin, Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindrom hepatorenal:

a. Cardiac output meninggi

b. Tekanan arterial menurun

c. Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun

d. Total volume darah meninggi

e. Aktifasi sistem vasokonstriktor meninggi

f. Tekanan portal meninggi

g. Portosystemic shunting

h. Tekanan pembuluh darah splangnik menurun

i. Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi

j. Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi

k. Tahanan pembuluh darah otak meninggi

l. Retensi natrium dan hiponatremi.

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati, atau koagulopati. Tipe ini umum terjadi pada sirosis alkoholik yang berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui. Kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, dan parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I.

SHR tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu. Lamanya harapan hidup pada penderita SHR tipe I ini lebih buruk dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.

2. Sindroma Hepatorenal tipe II

Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR ini biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati yang relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I.

E. Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnosis SHR. Kriteria diagnosis yang dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.

Kriteria mayor diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club :

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.

2. Laju filtrasi glomelurus (GFR) rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130mmol/l) atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.

3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat nefrotoksik.

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander atau pemberian cairan isotonic 1,5 ltr dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)

5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit parenkim ginjal secara ultrasonografi.

Kriteria tambahan :

1. Volume urin < 500 ml / hari

2. Natrium urin < 10 mEq/liter

3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma

4. Eritrosit urin < 50 /lpb

5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis SHR. Beberapa faktor predisposisi untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites adalah:

1. Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum

2. Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan

3. Ekskresi natrium urin yang rendah

4. Hipotensi arterial

5. Aktifitas plasma rennin meninggi

6. Kadar norepinefrin plasma tinggi

7. Refrakter ascites

8. Tidak ada hepatomegali

9. Peningkatan vascular resistive index ginjal SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) pseudohepatorenal syndrome. Pseudohepatorenal sindrom adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Beberapa penyebab psudohepatorenal sindrom adalah :

a. Penyakit kongenital (misal penyakit polikistik ginjal dan hati)

b. Penyakit metabolik (diabetes melitus, amiloidosis, penyakit Wilson)

c. Penyakit sistemik (SLE, arthritis rematoid, sarkoidosis.

d. Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan lain-lain)

e. Gangguan sirkulasi (syok, insufisisensi jantung)

f. Intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan lain-lain)

g. Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid)

h. Tumor (hipernefroma, metastasis)

i. Eksperimenta (defisisensi kolin, dan lain-lain)

F. Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR oleh karena itu pencegahannya terjadinya SHR harus mendapatkan perhatian yang utama.

· Penatalaksanaan Umum

SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien sirosis hati. Oleh karena pasien sirosis hati sangat sensitive dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit maka hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan retraksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif berupa :

– Diet tinggi kalori dan rendah protein

– Koreksi keseimbangan asam basa

– Hindari pemakaiaian oains

– Peritonitis bacterial sepontan pada sirosis hati harus segera diobati sedini dan seadekuat mungkin

– Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan cukup berat misalnya hipotensi, sepsis, dan pendarhan saluran cerna.

· Pengobatan medikamentosa

a. Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis nonpressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.

b. Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor adalah untuk mengatasi vasodilatasi splanknik (yang merupakan salah satu hpotesis terjadinnya sindroma hepatorenal). Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.

Pemberian Terlipressin berdampak positif terutama bila dikombinasikan dengan pemberian infuse albumin atau koreksi albumin serum merupakan vasokonstriktor yang baik pada kasus SHR.

Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik.

Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati.

· Tindakan invasive

a. Peritoneovenous shunt

Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

b. Portosystemic shunt

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. TIPS bermanfaat pada 75% kasus, dengan angka ketahaan hidep SHR tipe 2 lebih baik dibandingkan SHR tipe 1. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis.

c. Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

d. Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan.

Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek yaitu kurang dari 2 minggu. Nsehingaa transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2 transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90% kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi pada pasin tanpa SHR.

G. Pencegahan

Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari. Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan pemberian lbumin rendah garam.

Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika, pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan varises dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi volume : untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan pemberian ekspansi volume plasma dengan lbumin 20% (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretic dengan bijaksana : mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu pasien adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular. Menghindari pemakaian obat nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites merupakan predisposisi mendapat aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.

H. Prognosis

SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari 90%. Walau ada dari beberapa laporan kasus SHR yang mengalami perbaikan tetapi jumlahnya sangat sedikit yang terakhir ini terjadi bila diagnosis penggulangannya dilakukan sedini mungkin.

Kebanyakan pasien SHR meninggal akibat kegaalan faal hati, perdarahan saluran cerna dan infeksi. Jarang akibat langsung dari gagal ginjalnya. Umunya pasien meninggal 3 minggu setelah diketahui adanya gagal ginjal.